Berdamai Dengan Telur Asin
Sudah laaamaaa sekali saya tak jumpa dan tak berhubungan dengan Shanti, teman di tempat kerja dahulu. Tiba-tiba saja kami mengobrol via WA. Pertanyaan pertama, “Mbak sudah berdamai dengan telur asin?”
Tampak seperti percakapan biasa terhadap seseorang yang membenci suatu makanan. Tetapi bagi kami berdua atau teman-teman yang tahu cerita masa lalu saya di balik telur asin, maknanya dalam sekali.
Saya berasal dari keluarga susah. Ketika kecil, saya bersama 5 kakak setiap hari makan telur asin yang satu butirnya dibagi untuk beberapa orang. Saya ingat suka bertanya kepada Mama, memang harus telur asin, ya?
Jawabannya sederhana. Uang tak banyak, tetapi Mama kepingin anak-anak tetap dapat makanan yang bergizi. Telur asin adalah pilihan yang tepat. Berprotein dan sudah ada rasanya sehingga tak butuh biaya tambahan untuk mengolahnya.
Ketika sudah bisa hidup sederhana, tentu saja telur asin adalah makanan yang pertama kali kami hindari. Kami resmi menyatakan “musuh” dengan si telur asin. Makanan ini mengingatkan pada kesulitan hidup di masa lalu.
Seorang teman, maestro gitar ternama di Indonesia juga serupa dengan saya. Dengan alasan yang kurang lebih sama ia tak pernah mau menyentuh bika ambon. Panjang ceritanya. Karena belum meminta izin sang maestro, saya tidak berani menceritakan lebih rinci. Intinya tak selalu mudah bagi seseorang mengingat masa-masa “pahit”.
Shanti adalah teman yang rajin mengingatkan saya untuk berdamai dengan si telur asin sejak bertahun-tahun yang lalu. Sekali lagi maknanya dalam. Berdamailah dengan masa lalu. Justru sambungnya, telur asin pada kasus saya menunjukkan bahwa hidup bisa berubah dan diubah.
Sejak kecil saya bersama kakak diajarkan bermimpi tinggi sekali. Kalau menoleh ke masa lalu, mustahil rasanya menggapai mimpi itu. Tetapi cuma mimpi memang yang orang tua saya miliki saat itu. “Suatu hari,” kata orang tua saya, “Kalian akan bersekolah di luar negeri.”
Hei, ajaib…saya masih duduk di kelas 6 SD ketika kakak pertama saya berangkat menempuh ilmu di luar negeri. Setahun kemudian kakak saya nomor dua menyusul, dan seterusnya. Mimpi liar itu jadi kenyataan. Nah, itulah maksud Shanti, mengapa harus “memusuhi” masa lalu yang sudah jauh tertinggal di belakang?
Sudah berdamai dengan telur asin? “Sudah,” jawab saya. “Oh ya,” tanyanya surprise. Bagaimana tidak? Tahun-tahun terakhir ini tren kuliner kita sarat dengan telur asin. Mulai dari ayam, udang, sayuran, sampai pastry pun dijodohkan dengan telur asin. Kalau ingin mencipta resepnya, tentu harus mencicipinya.
Kadang untuk berdamai dengan sesuatu memang harus ada hal yang “memaksa”. Wkwkwk…tak sulit juga ternyata berdamai dengan masa lalu. Toh, sudah berhasil dilewati, bukan?