Kalau saya bawa kue buatan sendiri atau mengirimi seseorang kue, pasti ada saja yang bertanya, “Gak mau buka café?” Pura-pura merendah (hmmm…), saya selalu menjawab, “Siapa yang mau beli?” atau “Siapa yang mau datang berkunjung?”
Sebetulnya, diam-diam saya pernah bermimpi punya café untuk lansia. Tempat nenek-nenek dan kakek-kakek merasa gaul dan gaya kalau makan di situ. Tapi siapa yang mau memodali café untuk orang berusia 60 tahun?
Tapi namanya juga mimpi, kalau sudah bangun tidur, ya, lupa. Atau kalau tak terwujud pun, tidak sedih. Dari sekian mimpi, berapa, sih, yang jadi kenyataan. Hampir tak ada, bukan?
Lanjut ke mimpi tadi, dalam benak saya, ada orang tajir-melintir yang uangnya “tak berseri” yang menyumbangkan tanah luasnya untuk dibangun sebuah café. Kenapa harus luas? Karena nenek-nenek muda harus bisa membawa cucunya bermain di halaman!
Ada wifi? Jelas ada. Sebab ada nenek-nenek atau kakek-kakek yang kerja sosial setelah tidak bekerja. Pasti rasanya gaya kalau menyusun proposal pencarian dana di café seperti cucunya yang milenial.
Menu Simpel Yang Instagrammable. | SHUTTERSTOCK
Menunya tak perlu banyak, tapi ikut tren. Kok, terkesan tidak berkonsep? Itu konsepnya justru. Pilihan hidangan tak perlu banyak. Salad dan pasta mesti ada. Mungkin quiche yang sarat keju. Tapi kalau mereka dibanjiri menu sarat kolesterol, bisa-bisa anaknya tak izinkan lagi ayah ibunya datang ke café ini. Wkwkwk. Senangnya bermimpi. Indah sekali. Tak perlu menjalankan manajemen barang sisa. Tak perlu memikirkan kapan BEP (break event point).
Seorang teman pernah menulis cerita sebuah kerajaan resto yang luar biasa berkembang di negeri kita. Konon, diawali dari seorang anak yang rajin clubbing. Orang tuanya keberatan. Alih-alih marah, mereka membangun tempat supaya si anak clubbing di tempatnya sendiri. Lalu berkembanglah hingga jadi puluhan resto. Sayang orang tua saya sudah tiada. Kalau pun ada, pundi-pundinya tak cukup untuk mewujudkan mimpi saya. Hahaha…. Sedih? Tidak juga. Kan, cuma mimpi.