Cooking/Baking Shaming, Adakah?
Saya sepakat sekali dengan ajakan kanya.id untuk “sudahi shaming”. Seringkali ucapan main-main ternyata menyakiti hati orang. Apalagi yang dilakukan dengan sengaja.
Memang betul, ada orang yang setelah “disakiti” malah terpacu untuk memperbaiki diri. Misalnya, dibilang gendut, segera berdiet. Tetapi ada shaming lain yang tidak bisa diperbaiki. Misal, hidung pesek, mata yang tidak simetris. Tapi biarlah hal itu tak kita lanjutkan di sini.
So, adakah shaming di dunia masak-memasak? Banyak! Contoh kasus, Kanya (yang ini nama putri saya, ya) ketika masih kecil terlihat suka masak. Waktu SD dia mencoba bikin puding ketika saya di kantor. Hasilnya hangus. Karena dia tak tahu, sepanjang proses memasak adonan harus diaduk terus sehingga bubuk agar-agar sebagian mengendap di dasar panci dan menjadi hangus. Pudingnya bisa dimakan, tetapi siapa pun yang makan selalu bilang, hmm bau hangus.
Setelah itu dia tak pernah lagi memasak. Padahal saat itu sudah mulai belajar membuat cake, membuat telur dadar, dan memasak yang ringan-ringan. Kanya terlalu kecil saat itu untuk ditanya adakah hubungannya berhenti memasak dan cooking shaming (ini istilah ciptaan saya).
Ada juga teman kantor yang bilang, karena dia gendut, dia sering dipanggil dengan nama artis/tokoh gendut yang sedang populer saat itu. Rasa sakitnya meski tak terlihat di wajahnya masih dirasakannya sampai sekarang. Kita pun mungkin begitu. Punya rasa sakit yang tak kita perlihatkan, tetapi mengendap di hati. Saya juga. Banyak…
Mari kita jujur-jujuran. Kita menyimpan rasa sakit akibat dipermalukan banyak orang, namun lupa kita pun sering jadi pelaku. Mempermalukan orang paling sering kita lakukan ketika ingin mendapat perhatian orang banyak. Agar kita ditertawakan, maka bercandalah kita sambil mempermalukan orang lain.
Mumpung sedang jujur-jujuran, saya mengaku dosa. Di banyak acara demo masak, saya beberapa kali bercanda yang mempermalukan orang hanya untuk membuat suasana demo jadi hidup. Ini contohnya, “Saya bikin donat, bahannya sudah ditimbang dengan benar, langkah pembuatan sudah tepat, kok, ya, masih keras.”
Lalu saya menjawab, “Oh ada yang kurang, Bu. Kurang berbakat.” Tujuan membuat demo lebih hidup memang tercapai karena semua orang tertawa dan suasana jadi lebih meriah. Tetapi buat sang ibu, sangat bisa jadi jawaban saya menyakitkan meski kemudian saya menerangkan penyebab sesungguhnya si donat jadi keras.
Untunglah ada hal yang menghibur saya. Sang ibu yang bertanya sekarang sudah jadi penjual donat yang sukses. Sehari ia bisa membuat 600 donat dan ia selalu bilang itu berkat “resep Mba Semy waktu kursus”.
Duh, semoga tak ada lagi yang jadi berhenti memasak atau membuat kue karena bercandaan saya yang menyakitkan. Maaf, ya, Ibu-ibu. Sungguh tak ada maksud yang jelek. Mari kita mulai dari diri sendiri untuk menyudahi shaming, apa pun bentuknya.